Langsung ke konten utama

CERPEN KONTEMPLASI


Musuh Yang Sama
           
“Persiapkan barangmu anak muda!”
“sudah semua, tapi dimana aku tinggal nanti?” Pertanyaan yang berulang sejak pengumuman kelulusan ku tiga bulan yang lalu diperguruan tinggi ibu kota.
                “sudah, ikut saja!”jawab ayahku dengan enteng, lalu menutup pintu kamarnya. Entah malam itu dia tidak peduli atau memang seperti itulah cara seorang ayah mendidik anak laki-laki.  Sesaat itu pula aku diam membisu layaknya dinding ruang tengah keluargaku, lalu kupalingkan pandangan, potret ibuku di waktu mudanya. Aku benci setiap kali menatap fotonya karena hanya ratapan yang kudapat. Bagaiamana aku tidak benci, aku hanya mampu menyaksikan Subaedah muda dalam sebuah potret hitam putih dengan bingkai bambu, yang tak mampu berbicara dan menyaksikan perkembanganku. Aku tak tahu kemana harus ku keluhkan resah, bapak yang cuek dan ibu yang mati.
                Kembali kuperiksa barang barangku daripada membuang buang waktu seperti menatap foto ibu yang sama cueknya dengan bapak atau kembali bertanya pada bapak yang sama matinya dengan ibu. Semua barangku siap, dan waktunya telentang di bidang datar, tidur.
                “Ocan, oi bangun!”
                “yoo, tunggu!” jawabku dengan malas, yang sebenarnya dari tadi subuh sudah siap. Kubuka pintu dan langsung saja orang tua itu berdiri dari tempat duduknya dengan rokok di mulut, “ayo brangkat!’ dengan nada suaranya yang berat. Aku kembali masuk kamar. “loh, oi ocan ! kau tidak mau kuliah kah ?“ suaranya meninggi. “Mau ambil barangku toh pak, atau bapak mau belikan barang barang yang baru di kota ? haha” tanggapku cepat, dan meredahkan wajahnya yang penuh emosi “ohh iya, cepatlah. Langsung angkut ke mobil” jawabnya dengan santai
                Perjalanan dimulai, dan biasa saja. 135 KM jarak kota dengan rumahku, aku kira sudah ada tempat tinggal yang kami tuju. Ternyata bapak baru akan mencari. Baru masuk kota saja sudah membosankan dengan segala kepenatan dan kekakuan kota, apalagi berkeliling keluar masuk lorong, yang bagiku sudah seperti labirin. langit di Barat mulai memerah dan kami belum mendapatkan kost kostsan sederhana yang sesuai dengan keuangan bapak. semakin membuatku lelah. Mobil tua bapak masih berjalan hingga berhenti di simpang empat dibawah lampu jalan bercahaya kuning. Lalu bapak menelpon nomor yang ada di pagar abu, (Pondok Denas, Terima kost putra dan putri, hubungi 085xxxxxxx.
                “nak, jadilah kuat” Ucap bapak dengan lembut. Baru saat itu bapak bersikap dengan lembut padaku di dalam kamarku yang baru. “yes, i will not give up. You never teach me about weakness” jawabku dengan yakin.  “perutku mual mendengarmu anak muda!” sanggah bapakku dengan wajah yang begitu meremehkanku. Berdiri dan langsung membanting pintu WC kamarku yang hanya tiga langkah dari tempat tidurku. Sesaat kemudian tidak kuduga, aku mendengar suara aneh untuk pertama kalinya dalam kamarku dengan nada yang tak ada dalam not tangga nada. “plug plug, plug” sumber suara dari dalam WC. Hem entahlah, seperti ada sesuatu yang melompat kedalam kloset. “Hati hati ikut nyemplung!” tegurku. “plug” aku dijawab dengan sesuatu yang kotor itu lagi. Lalu suara air menyiram kloset terdengar, tanda bahwa sesuatu yang mengambang itu tenggelam ditelan bumi.
Bapak keluar dan berdiri depan WC, dan bau yang ikut merembes keluar “haah, tentramnya dunia anak muda!” Katanya, dengan wajah yang sok bijaksana dan tidak menyadari ketidaknyamananku. Kami ngobrol lama, hingga bapak bercerita kerasnya perjuangan hidup di masa mudanya. Fikirku, sejarah kehidupannya seperti propaganda bapak untuk menundukkanku. Dengan dalil, dia kuat dan aku lemah. Pukul sepuluh malam, bapak pamit dan lansung pulang karena esok hari adalah hari kerja dan kuliah perdana untukku. Perjuangan baru saja dimulai, dan kumulai mendalami peran untuk sejarah yang akan kuceritakan pada anakku kelak nanti.
***
Langit merah diujung timur menampakkan dirinya, aku berangkat ke kampus sepagi itu. Dengan santai dan lugunya dangan pakaian hitam putih bak tai cicak. Setibanya aku di gerbang kampus, para senior menampakkan segala macam bentuk kesangaran. Yah, dalam pandangan mereka kepada kami para Mahasiswa Baru memang seperti tai cicak. Serendah itu, mereka memandang kami. Kami para Mahasiswa Baru diperlakukan layaknya Militer, seolah kita akan pergi berperang. Mereka mendikte gerakan kami, seolah kami tidak mampu untuk bergerak sendiri. Tapi bagiku mereka hanya memperlihatkan kebodohan dan mempermalukan dirinya sendiri. Aku bingung dengan tingkah para seniorku, bagaimana mungkin seorang mahasiswa hanya bentakan yang mampu keluar dari mulutya? Tanyaku dalam diam.
Terpaksa saja kami berbaris, diam mematung. Sambutan sambutan dari beberapa tokoh penting saling berganti, yang intinya menyampaikan sambutan selamat datang kepada kami Mahasiswa Baru. Padahal kami sudah datang dengan selamat.  Hanya satu dari sekian rangkaian acara yang membuat jiwaku bergetar, bukan bentakan Senior, bukan juga Orasi Mahasiswa oleh seniorku, bukan juga iming iming profesi jika kami kuliah dengan baik dalam ceramah Birokrat pada sambutannya. Jiwaku bergetar dan tak sadar mulutku ikut bernyanyi ketika berdengungnya nyanyian BuruhTani, Darah Juang, dan Kebenaran dalam nyanyian Fajar Merah yang diadopsi dari Puisi Bapakanya, Wijhi Tukul.
Acara selasai, barisan ornamen tai cicak bubar. Sebagian pulang dan sebagian lainnya tinggal untuk saling mengenal sesama tai cicak. “tinggal dimana kawan?” tanya tai cicak disebelahku. “emm, di perempatan lampu merah Jalan Kebangsaan” jawabku dengan senyum bersahabat. “Fadhil” sebutnya, sembari menjulurkan tangannya “Ooh iya, Ocan” jawabku sembari membalas jabat tangannya. Lalu Fadhil menawarkan untuk mengantarku kembali ke pondok denas, dari pada naik ojek lagi kuterima tawarannya. Beruntung sekali, aku lansung mendapat teman. Dengan baik hati Fadhil mengantarku ke Pondok Denas, sesampainya di depan Kost tak kulupa untuk meminta nomor telfonnya. “Terimakasih, singgah dulu lah! Haha” ucapku dengan sok akrab. “Santai saja Kawan, Saya pulang dulu” jawabnya dengan mengarahkan kepalan tinju ke arahku, aku tak tahu apa maksudnya. Selama tiga detik tangan kiri dengan kepalan tinju masih melayang di depanku, tapi aku tidak melakukan hal yang sama. Aku benar benar tidak paham apa maksudnya, aku hanya mengamatinya dengan senyuman. Entah dia yang aneh atau saya, “Okey, Berkabar saja klo kau butuh bantuan kawan!” Ucapnya mengalihkan keanehan yang baru saja terjadi.
Fadhil kembali pulang ke rumahnya, sembari kedua kakiku maju saling melambung menuju kamar dan tak sempat kuamati lingkungan Pondok Denas.
Setibanya di kamar lansung saja kubuka kardus yang berisi buku buku yang tak sempat kususun kemarin malam. Baru saja selesai kususun berdasarkan ukurannya, Hpku berdering dan ternyata bapak yang menelponku. “bagaimana kuliah pertamamu nak ?”tanya bapak “biasa saja, pak” jawabku singkat. “masikah terdengar nyanyian Buruh Tani di Kampusmu?, sebagaimana bapak dulu!” tanya bapak, memastikan. “yaa... rasanya seperti musuh bapak dulu masih sama dengan musuhku saat ini. nyanyian yang sama, dan mungkin perjuangannya juga sama”.”hahaha, baguslah !” bapak senang dengan jawabanku. “tapi, ketika lagu bapak dulu masih kunyanyikan sekarang, dengan perjuangan yang sama pula, berarti bapak gagal toh melawan musuhnya, hingga aku harus menanggung perjuangan untuk menyelesaikan masalah yang antum tidak mampu selesaikan” ucapku dengan puas. “haha iya toh pak!!” sambungku lagi, tapi bapak tidak menjawab. Mungkin bapak sudah sadar dengan kelemahannya. “nak, musuhmu adalah dirimu sendiri!”ucap bapak pelan. Giliran aku yang diam, lebih baik bunuh diri saja jika musuhku adalah diriku sendiri, fikirku dengan mentah. “nak.. kusuruh kau jadi kuat bukan untuk memerangi yang lain tapi menjadi kuat untuk melindungi yang lemah, dan kita tidak pernah memiliki musuh. Kau harus ingat itu!” Tegas bapak, lalu menciptakan keheningan dengan kretek yang baru saja di bakar dan dihisapnya dengan penuh hikmat berkali kali. “aku heran denganmu yang membaca buku buku Filsafat, tapi mengapa hanya kebodohan yang mampu keluar dari mulutmu ? bukankah filsafat mengajarkanmu tentang kejernihan berfikir, hah ?”bantahnya dengan suara tinggi, “iya pak, maaf” tanggapku dengan tenang. “okey, kamu hati hati. Jangan lupa shalat. Assalamualaikum” “iya pak, waalaikumsalam”. Pembicaraan yang singkat namun akan banyak waktu merenungi kesalahanku dan nasihat bapak.
Beberapa saat kemudian Hpku berdering kembali, dan ternyata Fadhil  yang baru saja kukenal tadi sore. “halo, oi kawan kuy Ngopi!!” ajaknya “okey, dimana ?” tanyaku dengan setuju “Tunggu kujemput kau kawan!”. Sambil menunggu fadhil datang menjemput, kuluangkan waktu mandi sore. Hingga azan magrhib terdengar, fadhil blum datang dan kuluangkan lagi waktuku memenuhi panggilanNya. Disaat sholat kudirikan hpku berdering berkali kali dan menurutku itu adalah panggilan kawanku, kusegerahkan gerak penghambaanku dan kusudahi dengan salam lalu menangkat telfonnya. “kawan, saya didepan kostmu ini... Ayo diskusi sudah dimulai kawan, cepatlah!” Serunya. “oh iya sory, tunggu”Tanggapku.
                                                                                                ***
Kami tiba di kedai kopi, dari luar sudah nampak bahwa didalam diisi oleh orang orang yang serius. Poster para revolusioner dan tokoh berpengaruh terpajang memenuhi dinding merah, dan tentunya ada foto idolaku Gus Dur. Betul kata fadhil, diskusi sudah dimulai. Kami berjalan menuju bangku yang kosong, dan baru aku mengerti tentang kepalan tangan yang diajukan Fadhil padaku tadi sore. Yah kepalan tinju itu dibalas dengan kepalan tinju juga. Fadhil disapa dengan salam kepalan tangan dan aku juga. Aku duduk dan mulai mengakrabkan diri dengan teman teman Fadhil yang spertinya jauh lebih tua dibandingkan dengan kami berdua. Diskusinya bertemakan “Filsafat Ilmu” aku tak paham tapi mereka sangat dialektis.
Akhirnya aku akrab dengan mereka dan tak sungkan lagi bermain di kedai kopi juang. Mereka sangat naratif ketika berdiskusi, tidak sebaku buku. Dan ternyata aku tidak pernah paham dengan apa yang biasa kubaca pada buku filsafat. Bahkan tak bisa kujawab pertanyaan mereka, habis kujawab ditanya lagi. Hingga aku terdiam. Entah seperti itukah berfilsafat, selalu bertanya.
Sudah sebulan aku kuliah dan berproses di kedai kopi juang, hasilnya aku sangat meragu. Bahkan aku berhenti menghamba pada Tuhanku, yah aku selalu bertanya. Hingga disaat aku berada pada titik kebuntuan berfikir, aku membenarkan kata kata bapak. “nak, musuhmu adalah dirimu sendiri” yah aku benar benar memusuhi diriku sendiri. Hanya karena pertanyaan. Kufikir sedikit menghindar dikedai kopi juang dapat menenangkanku, akhirnya membusuklah aku di kamar kost. selama seminggu aku banyak merenung dikamar tapi usahaku tidak mengenalkanku pada diriku sendiri, aku hanya mengenal kostku yang kacau.

Pondok Denas bertembok merah, rimbun dengan sebatang pohon mangga berdaun lebat. Seolah olah pondok denas memiliki dua lapis pagar yang kokoh. Siang dan malam suasananya sama saja, remang-remang. Entah mengapa pemilik pondok ini tidak begitu prihatin dengan kondisi pencahayaan yang minim hingga para penghuni putri dengan seksinya santai menerima tamu laki laki berotak mesum di bawah pohon mangga. Segala aktifitas di dalam dan luar pondok dapat kuamati karena posisi kamarku berada di sudut lantai dua. Transaksi barang haram kerap kali terjadi, hingga transaksi kelamin biasa terdengar dari beberapa kamar.
Sebagai salah satu penghuni pondok denas, aku juga harus terpaksa menyembunyikan aib para tetanggaku.

Subuh begitu sunyi dan dingin. Entah mengapa subuh selalu seperti itu.  Semakin sunyi ketika terdengar langkah Tua kakek berparfum aroma Malaikat Subuh. kulihat begitu semangat langkah kakinya, Raut wajahnya begitu yakin dengan iman yang mungkin dipupuk sejak masa mudanya. Baju kokoh putih dengan gulungan sarung hijau yang digulung hingga tulang kering betisnya terlihat. Kulitnyapun begitu, coklat dan sama keringnya. Baru saja kakek lewat dan aku terfikirkan bahawa ada yang manusia yang lemah tapi dikuatkan dengan iman dan ada manusia yang kuat tapi dilemahkan dengan nafsu.
Karena si kakek aku mengingat Tuhanku lagi, aku beranjak dari bangku depan kamarku. Menggulung sarung tapi tidak setinggi gulungan kakek. Kuambil wudhu dengan segala harap ketenangan hadir dalam diriku. Yah kembali kucapkan ushalli dan takbir, kunikmati gerak menghambaku pada Tuhan dititik mesederajatkan kepala dan kakiku pada lantai. Hingga salam dan zikir kunikmati sekalipun datang sebagai pendosa.
Sepulangnya, dijalan aku mengakrabkan diri pada kakek “Tinggal dimana kek?”tanyaku, “aah, apa ?”jawab kakek, entahlah mungkin dia tuli “tinggal dimanaa kek?”tanyaku lagi. “ooh iyaa, di samping Pondok Denas itu” tanggapnya. Suaranya cempreng dan serak, “oh, tinggal sama siapa disitu kek?” “sendirii... nak, anakku ada tiga tapi sudah sibuk semua. Hahaha yah syukur juga punya anak sukses semua” jawabnya dengan tegar, saat mendengar itu aku teringat bapak dikampung. “boleh ke rumah kakek?” tanyaku “Yaa.. Boleh, ayo kita ngopi di rumah!”ajaknya. Begitu saja ceritanya, lanjutnya kapan kapan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Resensi Buku Ilmu Negara

RESENSI BUKU  JUDUL BUKU     : ILMU NEGARA  PENULIS              : ROMI LIBRAYANTO  PENERBIT           : PUSTAKA REFLEKSI  TEBAL BUKU     : 246 HALAMAN 14.8 x 21 CM    Sinopsis Pengantar Ilmu Negara         Buku ini memuat berbagai hal mendasar yang digunakan untuk mempelajari berbagai disipin ilmu yang berhubungan dengan Negara. Buku ini dapat digunakan sebagai pijakan awal untuk mengetahui negara sebagai objek formil maupun sebagai objek materi. Yang juga menjadi objek kajian dalam Ilmu Hukum. Buku ini juga bisa dijadikan pegangan utuk mengenal hukum tata negara, ilmu administrasi negara, serta ilmu ilmu sosial yang membahas tentang kenegaraaan         Sangat cocok buat mahasiswa, akademisi, serta praktisi y...

PAPER IDEOLOGI PERSMA

IDEOLOGI PERSMA DENGAN SEMBOYAN JURNALISME KERAKYATAN                 Pergerakan mahasiswa dibangun oleh paradigma keadilan, kesejahtraan, serta semangat menjaga nilai kebenaran. Ideologi didasari dengan keyakinan, tanggung jawab, serta keterlibatan secara praktis. Dengan landasan ini semangat perubahan dan kesadaran sosial untuk membangun masyarakat.             Hubungan antara ideologi dengan keyakinan sebagai suatu yang menadi asas dalam menata aturan. Keteraturan itu harus didukung sebagai dasar dan patokan dalam menilai sesuatu, keteraturan ini yang menjadi suatu ketetapan dalam menganalisis perubahan sosial. Dalam perubahan sosial terjadi suatu keadaan yang bukan lagi menjadi keadaan dari sesuatu, keyakinan berideologi harus menentang suatu perubahan sosial, kita harus yakin dalam keadaan yang benar. Tolak ukur dari keberpihakan dalam keadaan tert...