MENGETUK NGETUK Sewaktu waktu subuh, kau kurenungkan Tentu tak menentu menjadi menantu ibumu Nawaitu bersekutu tumbuh, kau kuharapkan Restu yang kutunggu pintunya adalah hatimu Mengantuk ngantuk hari kulewatkan Mengetuk ngetuk hati melalui pandanganmu Tentu tak akan mengutukmu atas penolakan Semoga maksudku termaktub dihatimu Demi merapikan segala kesemrawutan hatiku Kutaklukkan dengan berani sekalipun bermahar Teruntuk mahluk pemilik Mata sayu yang disipit sipitkan Saat disempatkannya senyum *Ingin rasanya menselipkan gambarmu, tapi nanti hambar kalau diumbar.
Musuh Yang Sama “Persiapkan barangmu anak muda!” “sudah semua, tapi dimana aku tinggal nanti?” Pertanyaan yang berulang sejak pengumuman kelulusan ku tiga bulan yang lalu diperguruan tinggi ibu kota. “sudah, ikut saja!”jawab ayahku dengan enteng, lalu menutup pintu kamarnya. Entah malam itu dia tidak peduli atau memang seperti itulah cara seorang ayah mendidik anak laki-laki. Sesaat itu pula aku diam membisu layaknya dinding ruang tengah keluargaku, lalu kupalingkan pandangan, potret ibuku di waktu mudanya. Aku benci setiap kali menatap fotonya karena hanya ratapan yang kudapat. Bagaiamana aku tidak benci, aku hanya mampu menyaksikan Subaedah muda dalam sebuah potret hitam putih dengan bingkai bambu, yang tak mampu berbicara dan menyaksikan perkembanganku. Aku tak tahu kemana harus ku keluhkan resah, bapak yang cue...